Ia Masih Muda, tapi Allah Lebih Mencintainya; In Memorian, Masnur Marzuki
Oleh: Benni Ihsan
Pertengahan tahun 2000, ia tiba di Jogja. Kami bertemu dan berkenalan di kost bg Yarno Arsyid. Ia mahasiswa baru, lulusan terbaik PP. Darun Nahdha Bangkinang. Saat itu ia datang bersama bg Nasril El-Chumeydi. Pertemuan singkat itu menimbulkan kesan orang yang cerdas.
Sekian lama tak bersua, kami akhirnya bertemu kembali di asrama mahasiswa Kampar di Jln. Taman Siswa. Saat itu saya baru tiba dan langsung menyalami dan mengatakan, “bangunkan srigala (atau singa, saya agak lupa), yang ada dalam dirimu,” katanya memberi motivasi agar saya mengembangkan potensi diri dalam berkesenian. Saat itu saya sedang dalam persiapan pementasan teater “Penggali Intan” bersama teater roeang28.
Tidak banyak mahasiswa asal daerah kita, memang, yang memilih seni, khusus teater, sebagai kegiatan ekstra kurikuler. Dan ia menyatakan Kumpulkan saat melihat poster iklan pementasan yang terpajang di dinding asrama, di mana salah satu aktornya adalah orang yang ia kenal dan berasal dari daerah yang sama.
Sejak itu, pertemuan kami semakin sering, saat ia mengontrak rumah di Jln. Nitikan, Gg. Pisces 32 yang diberi nama Lamotu (saya kira, di rumah ini istilah Lamotu pertama kali digunakan sebelum banyak anak muda di Kampar menggunakan istilah ini menjadi nama komunitas, istilah lamotu oleh abg kami Yen Yelli).
Ia mengotrak bersama Iwan, Phoen Jaya LaMotu, Yen Yelli, Jasriyal Lamotu, Atma Hadiansa, bertetangga dengan Erna Kd. Anton, Zoni Saputra, Karmailis Kaffa dan Ocu Yusri sering ke sini.
Di Lamotu, saya semakin mengenalnya. Ia aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Ia juga tak enggan menghabiskan waktu dengan menghubungkan guyon bersama kawan2 di Lamotu, tak masalah sih saat begadang sampai tengah malam di malam-malam UAS, hanya untuk obrolan ringan dan penuh tawa, meski demikian IPKnya tetap 4,00 (tidak seperti saya, nasakom / nasib satu koma).
Setamat dari UII ia melanjutkan studi ke negeri kanguru. Di sana itu tidak semata kuliah, ia juga pernah bekerja sebagai pemetik anggur, katanya, selain untuk tambahan uang saku, pekerjaan itu banyak pengalaman, dan pengalaman itu jauh lebih murah.
Sepulang dari Australi, kami beberapa kali bertemu dan dia terus saya untuk segera terbit buku dan kembali berteater. Ia berharap saya bisa pentas di TIM atau GKJ. Tapi itu semua tak kesampaian sampai akhir hayatnya.
Ia masih muda dan baru diterbitkan 3 buku, salah satu jurusan inggris yang ia baca dalam keadaan sakit. Masih banyak karya yang bisa ia sumbangkan, tapi Allah lebih mencintai dan sudah memanggilnya pulang.
Masnur Marzuki, kau inspirasi, panutan dan kebanggaan. Selamat jalan!