Kampar, BerkasRiau.com – Penasehat Hukum Herman (46 tahun), warga Dusun III Ujung Padang, Desa Kuapan, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, sampaikan somasi hukum kepada Camat Kampa, Kades Pulau Birandang, Syamsir, Mhd. Azhar Napitupulu dan Eka Srimulyanti atas jual beli lahan dan penerbitan SKGR ganda.
Surat somasi hukum itu diberi tengat waktu 7 kali 24 jam terhitung diterimanya surat, sebelum diambil langkah hukum baik secara Perdata maupun Pidana, kata Herman, Kamis (2/7/2020) lalu.
Disampaikan, bahwa pada tanggal 06 Januari 2016 terjadi jual beli lahan seluas 13 hektare yang terletak di Dusun Kampung Baru Rt 001 Rw 002 Desa Pulau Birandang. Kemudian diterbitkan 6 buah Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) tertanggal 08 Juni 2016 yang teregister di Kantor Camat Kampa.
Kesepakatan awal, sistem pembayaran adalah dengan cara mencicil dengan harga Rp 30 juta per hektare, diluar biaya surat. “Waktu itu, saya sudah membayar Rp 60 juta,” ujarnya.
Adapun kondisi tanah sewaktu dibeli masih berupa semak belukar/hutan muda dan tanah rawa berair. Kemudian pada tahun 2018 dilakukan pembersihan lahan (land Clearing), pembuatan parit keliling, kolam penampung air dan ditanami kelapa sawit seluas 8 hektare dan ubi racun 2 hektare, sisanya 3 hektate lagi tetap dikelola, terangnya.
Diceritakan, pada tahun 2018 saat melakukan pelunasan pembayaran atas tanah tersebut, pemilik tanah Syamsir menaikkan harga tanah menjadi Rp 50 juta per hektare. “Dengan terpaksa saya melakukan pembayaran lagi sebesar Rp 100 juta,” jelas Herman.
Kemudian, pada tahun 2019, ketika akan dilakukan pelunasan atas tanah, Syamsir lagi-lagi menaikkan harga tanah menjadi Rp 100 juta per hektare. Saat itu saya melakukan penolakan pembayaran karena sudah tidak sesuai dari kesepakatan awal.
“Tanpa saya ketahui, pada tahun 2020, Syamsir menjual sebahagian tanah tersebut kepada orang lain yaitu kepada Mhd. Azhar Napitupulu dan Eka Srimulyanti dengan menerbitkan 5 SKGR baru tertanggal 04 Mei 2020 teristerigasi di kantor Camat Kampa,” ucapnya.
Terhadap lahan yang dijual kepada Mhd. Azhar Napitupulu dan Eka Srimulyanti, saya bersama pengacara telah turun kelokasi dan mengambil titik koordinat. Titik koordinat setelah dioverlay, tumpang tindih dengan lahan saya seluas 6,36 hektare.
Berdasarkan informasi yang kami terima, 5 buah SKGR dalam proses penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kampar. Berdasarkan informasi, pihak BPN telah 2 kali turun kelapangan pada Bulan Mei 2020 untuk melakukan pengukuran.
Terhadap pembatalan jual beli lahan yang dilakukan secara sepihak oleh Syamsir sebagaimana surat pernyataan tertanggal 10 Februari 2020 menurut saya tidak sah. Karena tidak melalui gugatan pembatalan jual beli di Pengadilan.
Perbuatan tersebut saya pikir bisa menimbulkan akibat hukum, karena jual beli antara Syamsir dengan Mhd. Azhar Napitupulu dan Eka Srimulyanti adalah cacat hukum atau tidak sah, karena tanah tersebut jelas-jelas telah dijual kepada saya.
Perbuatan Syamsir yang menjual tanah dan menerbitkan SKGR baru atas tanah tesebut diduga merupakan tindak pidana membuat, menggunakan surat palsu dan penyerobotan tanah sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP, pasal 385 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatan Kades Pulau Birandang dan Camat Kampa yang menerbitkan SKGR diatas SKGR merupakan tindak pidana membuat surat palsu sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 263 ayat (1).
Jadi, saya minta kepada Syamsir, Kades Pulau Birandang, Camat Kampa, Mhd. Azhar Napitupulu dan Eka Srimuliyanti untuk membatalkan jual beli dan surat SkGR atas nama Mhd. Azhar Napitupulu dan Eka Srimuliyanti dalam waktu 7 kali 24 jam terhitung diterimanya surat, sebelum kami mengambil langkah hukum baik secara Perdata maupun Pidana, pungkasya.
Pemilik lahan sebelumnya Syamsir membenarkan bahwa pada tahun 2016 ada jual beli lahan seluas 13 hektare antara dirinya dengan Herman. Perjanjian itu hanya lisan dan tidak tertulis dengan kesepakatan ada uang ada surat. Waktu itu, harga lahan Rp 30 juta per hektare dan pada waktu itu, Herman memberikan uang sebesar Rp 60 juta dan saya berikan satu persil SKGR seluas 2 hektare.
“Dia terus berjanji secepatnya melunasi jual beli tanah tersebut, namun tak kunjung dilunasi,” ucap Syamsir.
Pada tahun 2018, Herman datang lagi, namun saya katakan, bahwa harga tanah tidak pagi Rp 30 juta per hektare melainkan Rp 50 juta per hektare. “Herman memberikan saya uang sebesar Rp 85 juta dan saya berikan 1 persil surat lagi seluas 2 hektare,” ujar Syamsir.
Kemudian tahun 2019, Herman datang lagi menemui saya yang katanya mau melunasi tanah tersebut, namun dia hanya membawa uang sebesar Rp 80 juta untuk semua tanah, tentu saya tidak mau, ucapnya.
Karena saya butuh uang untuk perobatan orang tua, sementara Herman janji-janji bohong dan tidak ada iktikad baik untuk melunasi, makanya saya jual tanah tersebut dengan orang lain.
Sementara, Camat Kampa, Dedi Herman saat dikonfirmasi menyampaikan, bahwa dirinya sebelumnya tidak mengetahui ada kaitannya dengan Herman.
SKGR terdahulu juga telah dicabut tandatangannya oleh Camat sebelumnya pada tanggal 13 Januari 2017.
“Yang saya tau hanya persoalan konflik keluarga dan sempat seminggu penandatanganan SKGR di pending, kenapa setelah SKGR diterbitkan muncul masalah baru,” ujarnya. (Syailan Yusuf)