PEKANBARU,BerkasRiau.com–Kerinduan akan beribadah ke masjid selama ini terjawab sudah. Berakhirnya PSBB dan terbitnya kebijakan Pemerintah tentang new normal life berimplikasi baik bagi rumah ibadah.
Melalui maklumat MUI dan Edaran Menteri Agama RI No. 15 Tahun 2020, masjid boleh melaksanakan aktifitas ibadah, namun dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Alhamdulillah, masjid sudah boleh buka. Pengurus dipersilakan melaksanakan imarah dan segala macam bentuk aktifitas peribadatan, seperti shalat Jumat dan shalat fardhu lima waktu.
Pertanyaan sekerang adalah apakah pengurus dan jemaah sudah siap? Apakah pengurus dan Jemaah telah siap menfungsikan masjid dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Perlu disadari, berakhirnya PSBB dan terbitnya kebijakan new normal life, bukan berarti menandakan bahwa kita telah terbebas dari pendemi Covid-19. Wabah tersebut setiap saat masih mengepung dan mengancam, bila kita tidak disiplin dan konsisten menjaga kesehatan diri dan lingkungan.
Bisa saja sewaktu-waktu kurva penularan Covid-19 di Riau, yang tadinya menurun dan landai, jadi naik dan mendaki. Kini, naik atau turunnya tingkat penyebaran Covid-19 akan berpulang kepada masyarakat itu sendiri.
Apa saja sesungguhnya yang mesti diperhatikan pengurus dan jemaah rumah ibadat agar pelaksanaan ibadah aman dari wabah dan tidak menularkan kepada jemaah?
Sesungguhnya, Edaran Menteri Agama tersebut di atas, telah memuat beberapa point penting tentang panduan penyelenggaraan kegiatan keagamaan di rumah ibadat dalam mewujudkan masyarakat produktif dan aman Covid-19 di masa pandemi.
Ada beberapa kewajiban yang ditujukan kepada pengurus masjid dan beberapa kewajiban pula bagi masyarakat yang akan melaksanakan jemaah ke rumah ibadat.
Kewajiban yang mesti dilaksanakan pengurus, diantaranya, melakukan pembersihan dan disinfeksi secara berkala di area rumah ibadah. Menyediakan fasilitas cuci tangan/sabun/hand sanitizer di pintu masuk dan keluar. Menyediakan alat cek suhu tubuh Jemaah dan membatasi shaf shalat minimal satu meter.
Tidak kalah pentingnya, pengurus juga harus melakukan pengaturan jumlah Jemaah/pengguna rumah ibadah yang berkumpul dalam waktu bersamaan dan mempersingkat waktu pelaksanaan ibadah tanpa mengurangi kesempurnaan ibadah.
Sedangkan masyarakat yang akan melaksanakan ibadah juga memiliki beberapa kewajiban. Diantaranya, jemaah mesti dalam kondisi sehat. Menggunakan masker sejak keluar rumah dan selama berada di area rumah ibadah. Menjaga kebersihan tangan. Menghindari kontak fisik seperti bersalaman atau berpelukan. Tidak berdiam lama di rumah ibadah kecuali untuk kepentingan ibadah wajib dan dilarang membawa anak-anak dan orang dengan sakit bawaan yang beresiko tinggi terpapar Covid-19.
Uniknya, ada lagi satu kewajiban administratif bagi pengurus, yakni rumah ibadat memiliki surat keterangan aman dari wabah Covid-19. Sedangkan masyarakat yang akan beribadah harus meyakini bahwa rumah ibadah yang digunakan telah memiliki surat keterangan aman Covid-19 dari pihak yang berwenang.
Kesahduan batin akan rindu masjid ternyata inheren dengan munculnya formulasi baru tentang kaifiat operasional penggunaan rumah ibadah secara teknis. Beberapa persyaratan protokol kesehatan menjadi penyempurna pelaksanaan ibadah. Ini bagian dari ketentuan yang sejalan dengan aturan syariah tentang pelaksanaan ibadah dalam Islam.
Ada salah satu kaidah kulliyah yang populer di kalangan para ulama dan tercantum kitab al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. “Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib”. Artinya suatu kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu itu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib.
Para ulama biasanya menampilkan contoh tentang membasuh atas siku (lengan) dalam berwudu. Allah SWT berfirman dalam QS al-Maidah [5]; 6: فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (Basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku).
Ayat di atas menjelaskan bahwa hukum membasuh tangan hingga siku-siku hukumnya wajib dalam wudhu. Namun, kewajiban membasuh tangan hingga siku-siku tersebut tidak akan sempurna, kecuali dengan memasukkan bagian atas siku (lengan) dalam basuhan sehingga siku-sikunya pasti akan terbasuh.
Sebab, jika tidak dimasukkan dalam basuhan, siku-siku yang menjadi batas yang harus dibasuh itu tidak akan terbasuh dengan sempurna. Artinya, kewajiban membasuh bagian atas siku merupakan konotasi yang menjadi konsekuensi logis dari kewajiban membasuh siku-siku.
Konotasi seperti ini bisa ditarik dari dalâlah iltizâm: ilâ al-marâfiq (sampai dengan siku). Dari kasus seperti inilah, lahir kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib.
Hemat penulis, dan ini boleh didiskusikan, penerapan protokol kesehatan dalam masa pendemi Covid-19 hukumnya menjadi wajib karena kedudukannya menjadi penyempruna pelaksanaan ibadah secara umum. Wallahu A’lam.
Pekanbaru, Ahad, 08 Syawal 1441 H.
Sumber : Dr. H. Erman Gani, MA (Sekretaris MDI Kota Pekanbaru)