“Ya, mestinya tidak seperti itu. Justru kalau kita bandingkan yang ditinggalkan Orde Baru, ini saya melihat ke data yang dirilis oleh TII,” kata Agus di sela-sela acara Final Festival Lagu Suara Lagu Anti-Korupsi (Saksi) di Jakarta, Jumat (30/11) malam.
Agus membeberkan, pada tahun 1999 atau setahun setelah Orde Baru runtuh, skor IPK Indonesia hanya 17. Skor tersebut membuat Indonesia berada pada urutan akhir dibanding negara-negara Asia. Namun, secara perlahan, skor IPK Indonesia perlahan membaik. Pada 2017, skor IPK Indonesia mencapai angka 37.
“Kalau di tahun 1999, relatif baru ditinggalkan oleh orde baru, itu CPI (Corruption Perception Index)skornya hanya 17. Secara pelan-pelan CPI kita naik,” katanya.
Agus mengaku prihatin dengan skor IPK Indonesia yang naik secara perlahan. Meski demikian, jika dibanding 1999, pemberantasan korupsi saat ini jauh lebih baik. Setidaknya, skor IPK Indonesia saat ini berada di peringkat ke-4 diantara negara-negara Asia Tenggara.
“Pelan-pelannya itu kita masih prihatin. Karena kita harus cepat. Pelan-pelan kita naik. Tahun 1999 Indonesia ada di peringkat paling bawah di Asia. Sekarang kalau di ASEAN, Indonesia ada di peringkat 4. Di atas kita ada Singapura, Malaysia 51 skornya, Brunei, baru kita. Jadi dulu Vietnam, Fiilipina di atas kita sekarang sudah di bawah kita,” katanya.
Untuk itu, Agus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama berupaya memberantas korupsi. KPK sendiri mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.
“Tapi masih banyak hal yg harus kita perbaiki,” tegasnya.
Agus menjelaskan alasan KPK mendesak pemerintah segera merevisi UU Tipikor. Dikatakan, UU Tipikor saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi rekomendasi Konvensi Antikorupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), seperti korupsi sektor swasta, perdagangan pengaruh, penambahan kekayaan tak wajar, dan pengembalian aset hasil kejahatan. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi UNCAC melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC tahun 2003.
“Karena di sana (UU Tipikor) belum ada yang namanya pemberantasan korupsi di private sector, belum ada perdagangan pengaruh, memperkaya diri sendiri secara tidak sah. Contohnya ketika berbicara korupsi di private sector,di banyak yang sudah banyak menerapkan suap atau gratifikasi antar swasta tidak boleh,” katanya.
Agus mengatakan, tak hanya UU Tipikor, KPK juga tak mempersoalkan jika pemerintah dan DPR merevisi UU KPK agar lembaga antikorupsi dapat semakin kuat. Yang terpenting, kata Agus, pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan oleh KPK semata tetapi oleh seluruh elemen bangsa.
“Kami yakinkan bahwa pencegahan dan pemberantasan pasti tidak mungkin dilakukan KPK, semua harus bergerak, media massa dan generasi muda saat ini harus disadarkan dan disebarkan virus antikorupsi,” tegasnya.
sumber: beritasatu.com