Jakarta, BerkasRiau.com – Anggota Dewan Pers Nezar Patria menilai unjuk rasa yang digelar sekelompok organisasi massa di kantor Tempo adalah preseden buruk dalam kebebasan pers.
Sebab, aksi ini bisa dianggap sebagai sebuah intimidasi kepada pekerja pers. “Membawa massa ke kantor media, beresiko menjadi sebuah tekanan terhadap kebebasan pers. Khususnya sebagai bagian kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi UUD 1945,” kata Nezar, Sabtu, 17 Maret 2018.
Untuk itu Nezar meminta kepada pihak-pihak yang tak setuju dengan hasil produk jurnalistik untuk mengadu kepada Dewan Pers. Langkah ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Berdasarkan undang-undang itu, Dewan Pers telah diberi mandat sebagai lembaga yang menangani sengketa yang melibatkan pers. “Tentu aksi protes juga bagian dari kebebasan berekspresi, namun yang kita cari adalah penyelesaian dari masalah,” kata Nezar.
Pada Jumat, pengurus FPI membawa massa untuk berunjuk rasa di depan kantor Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan. Mereka memprotes pemuatan kartun dalam majalah Tempo yang membuat mereka tersinggung. Kartun itu menggambarkan seorang bersorban yang mengabarkan tak jadi pulang kepada seorang perempuan yang menjadi lawan bicaranya.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli meminta Front Pembela Islam yang tersinggung atas pemuatan kartun pada edisi 26 Februari 2018 mengadukannya ke Dewan Pers. “Dewan Pers adalah lembaga yang tepat menyelesaikan tafsir atas kerja jurnalistik yang menjadi produk berita,” kata Arif di Jakarta pada Jumat, 16 Maret 2018.
Arif menegaskan dalam kerja jurnalistik tak ada intensi merendahkan, melecehkan, atau beritikad tidak baik terhadap narasumber, organisasi, atau tokoh yang sedang diberitakan. “Kerja jurnalistik itu semata-mata menyandarkan pada fakta, tak kurang dan tak lebih,” kata dia. “Namun, jika pencarian fakta-fakta itu dianggap keliru, Dewan Pers yang berwenang menilainya.”
Anggota Dewan Pers Ratna Komala mengatakan, setiap orang yang merasa dirugikan dengan hasil sebuah karya jurnalistik boleh menanyakan langsung kepada media bersangkutan. Jika dalam penyampaikan tersebut dicapai kata sepakat, pelaporan kepada Dewan Pers bisa tidak dilakukan. “Misalnya, yang merasa dirugikan bisa memberikan hak jawabnya, dan media mau mempublikasi hal itu. Misalnya seperti itu, lalu dianggap selesai,” kata Ratna.
Namun, jika memang dirasa tak ditemui titik temu memang sudah sewajibnya harus menyelesaikan lewat Dewan Pers. Nanti Dewan Pers akan melakukan penilaian apakah karya tersebut memang melanggar pasal-pasal dalam UU No. 40 Tahun 1999. Ataukah karya tersebut melanggar kode etik jurnalistik yang ada selama ini. “Ini karena Dewan Pers itu penegak dan pengawas rezim etik profesi jurnalisme yang dilindungi undang-undang,” kata dia.
Sumber: tempo.co