Kendal (BR) – Hujan tiba-tiba turun deras, ketika saya tiba di rumahnya Mardiyono (44) di Desa Karanganyar, Kaliwungu, Kendal, Jumat (30/9/2016) pagi.
Di teras rumah milik dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang tersebut, sudah ada Eko Sutikno (79). Pria beranak 4 dan bercucu 8 yang biasa disapa Babe itu duduk di kursi tua sambil ditemani tuan rumah.
“Selamat pagi. Maaf terlambat datang,” kata saya sambil tersenyum. Setelah berjabat tangan dengan Babe dan pemilik rumah, saya langsung bergabung dengan mereka.
Kami sebelumnya melalui telepon memang sudah membuat janjian untuk bertemu dengan Babe di rumah Mardiyono, dosen mata kuliah hukum sekaligus pemerhati orang-orang eks PKI.
“Kita ngobrol dulu di sini, sambil menunggu hujan reda,” kata Babe. Setelah itu, tanpa basa-basi Babe meminta kopi kepada tuan rumah. Tanpa menunggu lama, Mardiyono langsung masuk untuk membuatkan kopi pesanan pecinta musik barat klasik itu.
“Hujan ini juga bisa melatih kesabaran kita,” tambahnya. Babe menceritakan, ia dilahirkan dari seorang perempuan bernama Maryam. Ayahnya tergolong pengusaha sukses bernama M Musdi. Ia anak pertama dari 4 bersaudara.
Babe pengenyam pendidikan SR dan SMP di Kaliwungu, SMA di Semarang, dan sempat menikmati bangku kuliah di Surakarta, hingga kemudian ia ditangkap.
Beberapa penjara pernah ia singgahi. Mulai rumah tahanan yang kini jadi Alun-alun Kaliwungu, tahanan di Plantaran Kaliwungu yang sekarang menjadi gudang beras, tahanan di Kendal (sekarang menjadi Lapas Klas IIA Kendal), Ambarawa, Semarang hingga pulau Buru.
“Saya keluar dari pulau Buru tahun 1979. Di pulau Buru, saya bertemu dengan Pramudya Ananta Toer, dan saya yang menyelamatkan karya-karyanya,” aku Babe.
Bebas dari pulau Buru, tambah Babe, pada tahun 1980 ia menikah dengan gadis bernama Masamah dan tinggal di Jakarta. Tujuh belas tahun kemudian, perempuan yang telah melahirkan 4 anak itu meninggal dunia. Dua anaknya tinggal bersama dia di Jakarta dan 2 lainnya memilih ikut kakek dan neneknya di Kaliwungu, Kendal.
Namun akhirnya, Babe memilih menetap ke Kaliwungu setelah sang ibu tercinta menghadap Tuhan pada tahun 2009.
“Sekarang saya menikmati sisa hidup saya, semau gue. Mau tidur di rumah anak, ya tidak apa apa. Di rumah kawan juga tidak masalah,” jelasnya.
Babe kemudian menghentikan ceritanya, karena kopi pesanannya datang. Ia sedikit tersenyum. Lalu tangan kanannya merogoh saku baju. Sedetik kemudian keluarlah sebungkus rokok kretek.
“Hujan begini sangat nikmat kalau kita ngobrol sambil minum kopi dan merokok, “ ucapnya.
Kemudian Babe mengambil sebatang rokok kretek dari bungkusnya. Dengan lincah tangan kirinya mengambil korek gas, dan menyulut rokok tersebut.
Setelah itu, Babe kemudian melanjutkan ceritanya. Menurut pengakuan Lelaki kelahiran 1940 itu, sebenarnya ia ditangkap oleh tentara tanpa tahu penyebabnya. Sebab waktu itu, dirinya sedang kuliah di Surakarta. Lantaran disuruh pulang karena ada temannya yang ditangkap tentara, ia langsung kembali ke rumah yang ada di Kaliwungu.
“Ternyata yang ditangkap Romodus Triyanto, teman saya yang bergabung di organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), milik PKI. Lalu aku datang ke tahanan Kaliwungu untuk membebaskan teman yang rumahnya di Boyolali itu, “ ujarnya.
Lalu, kata Babe, usahanya untuk membebaskan temannya tersebut berhasil. Namun, setelah temannya yang kuliah di Semarang tersebut dibebaskan, ia malah ditangkap. Di penjara bersama tahanan lain, Babe ikut disiksa.
Ruang tahanan di Kaliwungu
Hujan deras mulai mereda ketika saya, Mardiyono dan Babe tiba di Alun-alun Kaliwungu. Beberapa pedagang kaki lima sudah mulai memenuhi kawasan itu. Mulai pedagang baju, buah, hingga makanan.
Di sisi kiri alun-alun terdapat Masjid Agung. Masjid yang didirikan oleh Kiai Guru ratusan tahun lalu itu terlihat masih ramai. Maklum, di kota santai ini, banyak orang mengaji seusai menjalankan shalat Jumat.
Menurut cerita Babe, di belakang alun-alun itu dulu berdiri kantor Kawedanan. Di sisi kanan Kawedanan berdiri beberapa bangunan. Tiga di antaranya untuk tahanan. Sementara di sekitar alun-alun ada sebuah bangunan yang digunakan untuk tahanan elit PKI.
“Saya bersama tahanan lain sering dipukuli di luar, yang kini jadi alun-alun ini. Jadi semua orang yang lewat bisa melihatnya. Sebab dulu hanya ditutupi tembok yang tingginya sekitar 50 sentimeter,” ujarnya.
Babe mengaku, karena dirinya selalu melawan bila dipukul, ia dimasukkan ke barak yang digunakan untuk menyimpan mayat. Namun begitu, ia merasa tidak takut atau jera. Ia tetap membalas setiap dipukul.
“Mayat-mayat itu memang ditaruh di situ sampai ada keluarga yang mengambil. Tapi ada juga yang berhari-hari tidak diambil sampai baunya busuk. Tapi saya tetap cuek saja. Saya tidak muntah atau jijik. Sebab saya berpikir saya juga nantinya akan kayak gitu,” ucapnya.
Babe menjelaskan, ada ratusan orang yang ditahan bersama dirinya. Sampai ruang tahanannya tidak cukup dan para tahanan tidur dengan duduk. Babe mengaku senang bisa tidur dengan mayat, karena bisa tidur normal.
“Tapi anehnya, tahanan lain kalau tidur di ruang mayat ini, beberapa hari kemudian ikut mati. Saya juga heran. Tapi saya masa bodo,” katanya dengan bahasa Jawa campur Betawi.
Menurut Babe, banyak tahanan yang memilih mati karena tidak kuat siksaan. Sampai-sampai bila ada tentara yang memanggil nama seseorang, mereka berebut mengacungkan tangan. Padahal mereka tahu akan dibunuh.
“Karena saya sering membalas bila dihajar, lalu saya dipindah ke tahanan yang ada di Plantaran, Kaliwungu,” ujarnya.
Tahanan di Kaliwungu, menurut Mardiyono, mulai dipugar sekitar tahun 1900-an. Selain untuk perluasan alun-alun juga digunakan untuk jalan. Sekarang ini, tambah alumni S2 UKSW Salatiga itu, yang ada tinggal bangunan Kawedanan.
“Saya tahun persis, karena saya asli sini, dan dulu saya mainnya juga di sini,” kata Mardiyono.
Ruang tahanan Plantaran
Jarak tahanan Plantaran dengan Alun-alun Kaliwungu hanya sekitar 3 kilometer. Berbeda dengan tahanan Kaliwungu yang tinggal Kawedanan saja. Tahanan Plantaran yang kini beralih fungsi menjadi gudang beras. Namun bangunannya masih banyak yang belum berubah. Hanya butuh waktu tidak lebih 10 menit untuk sampai ke Plantaran.
“Bangunan di tengah itu, bangunan baru,“ kata Babe setelah sampai di tempat tujuan.
Babe menceritakan, di penjara Plantaran lebih enak jika dibandingkan dengan penjara di Kaliwungu. Sebab, tidak ada penyiksaan meskipun jatah makanannya tidak lancar. Kadang seharian sekali, kadang dua kali, bahkan terkadang pula tidak makan sama sekali.
“Padahal di sekitar sini banyak penjual makanan. Ada sate ayam, gorengan dan lainnya. Jadi kalau pas kami kelaparan, kami seperti tersiksa ketika mencium bau bakaran sate atau gorengan,” katanya.
Babe menjelaskan, tahanan ini dijaga banyak tentara.
“Ada ratusan tahanan di sini. Teman satu tahanan saya yang masih kuingat, di antaranya bernama Supari , Yanto, Muhram, Sabar, Surono, Sujud, Naryo, dan Dirman. Di antaranya masih ada yang hidup. Di antaranya Supari,” jelasnya.
Babe menambahkan, banyak kenangan bersama tahanan lain di Plantaran ini. Salah satunya gurauannya bersama kawan-kawan tahanan lain untuk melawan lapar. Hingga akhirnya ia kemudian dipindahkan ke tahanan Kendal yang kini menjadi Lapas IIA Kendal.
“Kalau di Kendal, siksaannya ya kelaparan itu. Sebab kalau memberi jatah makan, nasinya bisa dihitung. Tapi saya hanya sebentar di situ, karena kemudian saya dipindah di Ambarawa, Semarang dan terakhir di pulau Buru,” ucapnya.
Setelah memandang beberapa saat bangunan bekas tahanan tersebut, Babe, mengajak main ke rumah Supari, mantan tahanan PKI yang masih hidup dan tinggal di Desa Darupono, Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal.
Menurut Babe, usia Supari masih berada di bawahnya. Jadi pendengaran dan bicaranya masih baik.
“Kalau yang lain sudah pada meninggal. Kalau pun ada yang masih hidup, mereka pada pikun,” jelasnya.
Lalu kami pun menuju ke rumah Supari. Perjalanan kami juga tidak membutuhkan waktu lama. Hanya sekitar 15 menit.
“Hallo, Bro,” Supari langsung menyapa Babe setelah kami sampai di rumahnya. Babe langsung menjabat tangan sahabatnya itu.
Setelah basa-basi sebentar, kemudian Supari menceritakan bahwa ruang tahanan Kaliwungu dan Plantaran pernah membuat dirinya seperti tak punya harapan hidup itu. Ceritanya sama dengan apa yang dikatakan oleh Babe. Bedanya, Supari, setelah dari Kaliwungu, Plantaran, dan Kendal, dibuang langsung ke Nusakambangan. Di Nusakambangan itu Supari ditahan selama 7 tahun.
“Kalau saya ditangkap oleh tentara, karena bergabung dengan Lekra. Saya biasa menari, salah satu iringannya lagu ‘Genjer-genjer’,” akunya.
Kuburan masal PKI
“Rumahnya tidak jauh dari sini. Saya ta ke rumahnya,“ kata Supari.
Setelah itu, Supari mengajak kami menuju rumah Suparjo yang ternyata jaraknya hanya sekitar 200 meter. Tak lama kemudian ia kembali bersama pria seusianya yang ternyata Suparjo.
“Ini Suparjo, mari kita ke makam,” lanjutnya.
Sesampai di hutan lindung Darupono, kami langsung menuju makam masal PKI. Jarak makam dari Jalan raya Darupono hanya sekitar 100 meter.
“Setiap Jumat, makam ini saya bersihkan. Kasihan mereka yang dibunuh di sini ini,” kata Suparjo.
Suparjo menceritakan, pembunuhan masal terjadi sekitar Desember 1965. Kejadiannya pada malam hari. Saat itu, ia bersama pemuda kampung jaga malam. Lalu mereka berkali-kali mendengar tembakan. Paginya, mereka disuruh menguruk mayat-mayat yang berada dalam lubang ukuran sekitar 2×3 meter itu.
“Jumlahnya ada sekitar 20 orang. Salah satu di antaranya perempuan,” katanya.
Menurut Suparjo, ada 3 kuburan masal PKI di hutan lindung ini. Namun, yang ia ketahui lokasinya hanya dua makam.
“Yang disuruh nguruk itu yang piket jaga malam. Kebetulan, yang dua itu, pas saya dapat giliran jaga,” jelasnya.
Makam-makam anggota PKI itu, ujar Suparjo, sering didatangi orang-orang yang mencari nomor togel setiap malam Jumat.
Terkait dengan makam masal PKI tersebut, baik Babe maupun Supari, mengaku akan merawatnya. Walaupun tidak bisa setiap hari atau setiap Jumat, namun ia akan menyempatkan diri mengunjungi kuburan itu bila ada waktu.
“Mungkin di antara mereka ada yang kami kenal. Tapi yang jelas, mereka adalah korban. Sebab mereka dibunuh tanpa ada putusan bersalah dari lembaga hukum,” kata Babe. (red/kompas.com)